My short story => Sop Buah Kehidupan
Sop Buah
Kehidupan
S
|
andra Muthia, begitulah aku biasa dipanggil. Gadis yang tidak
begitu terkenal, hehe. Dan kini aku ingin berbagi cerita berjuta rasa selama
aku mengarungi samudra kehidupan yang penuh dengan tantangan. Baik tantangan yang
berupa kesenangan maupun tantangan yang berupa keras dan getirnya hidup
ini.Semua hal itu pernah aku rasakan meskipun tak berlarut-larut.
Sebenarnya aku adalah seorang petualang. Aku telah menjadi seorang
petualang semenjak aku masih kecil lho, bagaimana bisa menjadi seorang
petualang sejak kecil?”. Ya, aku adalah seorang gadis yang terlahir dari
keluarga berdarah jawa. Ibuku keturunan jawa, namun ia adalah keturunan Jawa
Sumatera dan bukan orang Jawa asli. Dan seluruh keluarga ibuku berada di
Sumatera.
Berbeda dengan ibuku, ayahku adalah keturunan Jawa tulen atau suku
Jawa asli. Yaitu orang yang terlahir di kota kecil di Jawa Timur yang memiliki
sebuah kebudayaan yang kini telah mendunia. Dan tempat ini sering kali aku
sebut dengan “KOREA”. Ini bukanlah negara yang menjadi idaman para remaja atas
populernya K-pop saat ini. Tetapi “KOREA” disini adalah “Kota Reog Asli”.
Apalagi kalau bukan PONOROGO. Sebuah kabupaten dan kota di Jawa
Timur yang terkenal dengan Kesenian Reog Ponorogonya yang telah mendunia,
tersebar di mancanegara dan sampai Malaysia pun pernah mengakuinya. Meskipun
aku terlahir di Kuala Tungkal, sebuah kota kecil di provinsi Jambi yang terkenal
dengan pesisir lumpurnya. Namun, aku dibesarkan di kota asal ayahku yaitu
Ponorogo. Bersama nenek dan bibiku, lagipula
sebagian besar keluarga ayahku tinggal di kota tersebut dan sebagian lagi
tersebar di kota-kota lain yang masih mencakup kawasan Jawa Timur.
Sejak kecil aku telah belajar untuk mampu hidup tanpa kedu
orangtuaku. Mereka tinggal di Provinsi Jambi sedangkan aku diasuh oleh nenek
dan bibiku di Jawa Timur. Ini bukanlah jarak yang dekat, namun ini adalah jarak
yang cukup jauh untuk ditempuh jika menggunakan transportasi darat. Apalagi
saat itu usiaku masih sangat kecil yaitu saat
umurku baru menginjak 3 tahun, kedua orangtuaku menitipkanku dengan nenekku di
Jawa. Dan mereka harus bekerja untukku dan hidup.
Semua itu dilakukan karena sulitnya perekonomian saat itu.
Terkadang aku merasa jika aku berbeda dengan anak-anak yang lain, yang
seharusnya masa kecilku di rumah kuhabiskan bersama ibu dan ayahku, disamping
bermain bersama teman-temanku. Namun kenyataannya terbalik. Aku tak merasakan
indahnya pertumbuhan masa kanak-kanak ke masa remaja bersama kedua orangtuaku.
Namun apapun itu, aku tak peduli. Aku tetap melewati dan sangat
menikmati masa kecilku. Namanya juga anak kecil, ya belum tau apa-apa.
Bertahun-tahun aku hidup di Jawa, tak lupa ayah dan ibuku selalu mengirimkan
surat untukku. Dan apabila ada rezeki, mereka pun bisa datang untuk
mengunjungiku. Aku pun telah terbiasa hidup jauh dari orangtua.
Jadi apabila aku berada jauh dari orangtuaku, aku tak lagi khawatir
ataupun takut. Karena hal tersebut telah menjadi kebiasaan bagiku. Sampai
terkadang aku lebih merasa nyaman jika sewaktu-waktu aku berada dalam
kesendirian. Dan kebiasaan itu pun terbawa hingga aku sebesar ini. Karena aku
merasa jika berada dalam kesendirian, kita akan mendapatkan ketenangan dan
bebas berekspresi atas diri sendiri tanpa ada yang membuat kita merasa canggung.
Bertahun-tahun aku telah hidup di Jawa, rasanya waktu pun begitu
cepat. Tamat SD aku di jemput ayahku untuk tinggal bersamanya dan ibu di Jambi.
Otomatis aku harus melanjutkan sekolahku di sana. Awalnya berat, karena suasana
kehidupan di Jawa itu sangat menyenangkan. “Hmmmm...
Sedih rasanya bila harus berpisah dengan orang-orang yang begitu dekat
denganku. Baik itu keluarga, guru-guru juga teman-temanku”.
Mungkin saat itu aku mulai berfikir “aku tidak boleh
terus-terusan menuruti kemauanku sendiri dan kesenangan yang aku dapat di sini.
Bagaimanapun juga aku masih punya orangtua. Dan aku adalah anak satu-satunya.
Apa gunanya aku jika aku tak pernah menjalani hari-hariku bersama mereka.
Orang-orang yang membuatku dapat hidup di dunia ini”. Mau tak mau aku pun harus
mau pindah ke Jambi. Karena suatu saat jika ada rezeki aku dapat kembali ke
“KOREA”, walaupun hanya untuk berlibur.
Aku merasa aneh pada perjalanan hidup yang ku rasa saat itu.
Namanya juga anak masih kecil. Anehnya, aku kan lahir di Jambi diasuh oleh ibu
sampai berumur 3 tahun di sana namun setelah
sekian lama aku tinggal di Jawa dan kembali lagi ke Jambi kok
malah aku merasa asing dengan daerah tersebut dan
bisa dibilang, aku adalah anak Jambi bukan anak Jawa dikarenakan aku terlahir
di Jambi.
Hari demi hari yang kujalani di tanah Sumatera ini membuat aku
mulai betah dan mendapatkan banyak
teman. Walaupun awalnya aku pemalu, namun lama-lama aku berani untuk berbaur
bersama mereka. Mula-mulanya aku sedikit bingung dengan dialek mereka. Selain bahasanya
yang sedikit asing, dan menurutku omongan orang Sumatra agak kasar karena
memakai kata “kau” untuk menyebut istilah kamu.“Eh anak baru
name kau sape” kata anak
laki-laki yang mengajakku untuk berkenalan saat itu, karena aku tak terbiasa
berkata seperti itu, aku menjawabnya dengan menggunakan bahasa Indonesia otomatis
dialek yang aku pakai adalah “a”. Seperti “Namaku Sandra, kalau
kamu siapa namanya?” kataku. Anehnya anak-anak di sana malah menganggap
seseorang yang memakai bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari itu namanya
sok-sokan. Mmmm...
Anehnya anak-anak di sini, bagaimana mereka bisa terapkan bahasa Indonesia
dalam keseharian mereka kalau mereka merasa risih mendengar seseorang berbahasa
Indonesia.
***
Setelah aku lulus SMP, aku harus berfikir kemana aku harus
melanjutkan sekolah. Saat itu antara keinginanku, ibu dan ayahku bertolak
belakang. Karena waktu itu aku belum punya adik dan menjadi anak semata wayang
bagi orangtuaku. Namun sekarang aku telah mempunyai adik perempuan yang sekarang
kira-kira baru sekitar hampir 3 bulan tepatnya lahir di tanggal 7 Desember
beberapa waktu yang lalu.
Waktu itu ibuku ingin aku menuntut ilmu di pesantren, ayahku ingin
aku masuk SMA yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Sedangkan aku
ingin melanjutkan ke MAN Model Jambi waktu itu. Aku pun berusaha mencari dan
mengumpulkan informasi tentang sekolah-sekolah yang sekiranya baik untukku.
Musyawarah keluarga, seringkali dilakukan hanya untuk membahas sekolah mana
yang akan menjadi tempat tujuanku menuntut ilmu selepas masa SMPku berakhir.
Dan ternyata pada akhirnya, ayahku menyetujui keinginan ibuku yaitu
agar aku melanjutkan sekolahku ke pesantren.
Namun jika aku masuk pesantren, ayahku menyarankan agar aku masuk ke
Pondok Modern Darussalam Gontor di Ngawi, Jawa Timur ”Haaa mondok digontor
yah?” kataku dengan panik. ”Iya di Gontor, emang kenapa?” tanya ayah.
“Kalau ke Jawa, kenapa gak sekolah SMA aja, aku kan gak punya bekal
untuk mondok pak? Apalagi kalau di Gontor. Hhuuhh!!” ujarku kesal.
“Pokoknya mondok di Jawa, di Gontor itu bagus jadi kamu harus bisa
belajar hidup di sana!”
Karena ibuku sangat mendukung aku masuk ke sana, yah mau gak mau
aku nurut saja walaupun berat rasanya. Setelah tiba waktunya, aku berangkat ke
jawa bersama ayahku rupanya kami tiba di sana malam hari,
pendaftarannya tutup pada malam hari. Besok paginya kami mendaftar di Gontor
Putri 2 karena di sanalah semua calon santri
ditampung dan setelah lulus tes atau ujian
barulah ditentukan di pondok masing-masing sesuai hasil ujian. Baik itu tetap
di Gontor putri 2 atau di Gontor putri 1 dan di Gontor putri 3, setelah
tahap pembelajaran lebih kurang 3-4 bulan berbahasa arab dan inggris, kami pun
ujian seleksi masuk Gontor.
Saat baru datang dan mendapat kamar, aku merasa canggung dengan
teman-teman dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Cianjur,
Lampung, Borneo, Sulawesi, Ambon dan bahkan dari luar negeri pun ada yang di
kamarku yaitu dari Thailand dan Singapura. Ketika itu ayahku hanya
mengantarkanku sampai kamar baruku dan kemudian lansung saja meninggalkanku ke
rumah nenekku di Ponorogo. Otomatis aku sendirian dan harus segera beradaptasi.
Sungguh aneh!! Awalnya aku tak pernah berfikir untuk merajut mimpi
di dunia tersebut. Dunia yang penuh dengan kebiasaan yang aneh pula. Mulai dari
kebiasaan mengantri mengaji, memuji keagungan-Nya, sampai kebiasaan untuk
berkerudung lebar. Rasa ragu, bimbang, takut, haru, senang bercampur sedih
bercampur aduk di saat itu.
“Berat di awal mungkin sudah biasa” pikirku saat itu. Berbagai
cobaan sempat terbersit untuk “pulang” dalam benakku. Sampai tibanya ujian
lisan dan ujian tulis untuk menentukan keberadaanku di Gontor yang mana ujian
tulis dari berbagai mata pelajaran yang dikemas dalam bahasa Inggris dan bahasa
Arab gundul dengan soal esay membuatku cemas kala itu. Aku hanya bisa berdoa
dalam hati. Sedang ujian lisan yang di adakan membuat sebagian besar calon
santri ketakutan. Pasalnya satu persatu dari kami harus berhadapan dengan
beberapa ukhty kelas 6 KMI, beberapa orang ustazah, bahkan ada beberapa ustadz
di sebuah ruangan yang kita belum mengenalinya.
Setelah beberapa hari, hasil pun terpampang di papan pengumuman.
Aku bingung mencari namaku yang tertulis di antara beribu calon santri yang
mengikuti ujian. Aku masih ingat saat itu, dari 3000an calon santri hanya
1700an yang lulus saat itu. Setelah mencari-cari akhirnya aku menemukan namaku.
Betapa gembiranya aku kala itu ketika aku melihat, aku lulus di GONTOR Putri 1
yang letaknya bersebelahan dengan Gontor putri 2.
Dan ternyata “WOW” di Gontor putri 1 jauh lebih banyak santrinya
yang saat itu sekitar 5000an santri sungguh luar
biasa bahkan ruang lingkupnya lebih ke
mancanegara. Banyak santri-santri dari berbagai negara, seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, Filipina, Brunai Darussalam, bahkan santri dari Turki dan
Jeddah. Sungguh luar biasa namun perjalanan
hidup di arsama lebih berat dari Gontor putri 2 pelajaranku
pun semakin berat selain banyaknya hafalan, aku juga
harus berfikir extra karena pelajaranku cukup banyak, hal
ini dikarenakan aku anak intensif jadi belajarnya harus intensif yang
seharusnya 2 tahun harus dimaksimalkan menjadi 1-15 tahun.
Itu bukan persoalan yang mudah, aku mencoba ikhlas dan tegar
menjalaninya namun rasanya aku tak kuat. Tak betah sebulan aku coba
berbulan-bulan agar aku kerasan. Hingga akhirnya 1 tahun telah aku lewati dan
setelah melewati ujian akhir tahun. Akupun menyerah kala itu. Aku memutuskan
untuk pindah dari Kampoeng Damai Gontor Putri 1 tersebut. Aku pun pulang ke
Jambi.
***
Saat itu orang tuaku agak kecewa mengetahui aku harus pindah. Mau
gimana lagi sesuatu itu tidak untuk dipaksakan karena apabila dipaksakan
dampaknya juga akan terjadi pada diri sendiri. Lalu aku pindah di MAN yang ada
di daerahku. Sedikit demi sedikit kenangan suka dan duka selama aku di Gontor
pun perlahan sirna. Aku kembali seperti aku yang biasanya.
Setelah aku lulus dari sana, aku kembali dibebani oleh fikiranku
yang terus memikirkan di mana aku harus kuliah. “Ya,
tak perlu jauh-jauh lagi, cukup di Jambi”. Awalnya aku mengikuti seleksi online
SBMPTN di UNJA dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris namun
sayangnya aku gagal. Saat itu aku juga tes di IAIN STS JAMBI dengan pilihan
pertama PBI dan yang kedua BSI. Ayahku berharap aku lulus di PBI karena nantinya
aku bisa menjadi guru. Saat itu ayah tidak tau tentang sastra. Namun aku juga
tertarik ke sastra karena disastra aku fikir aku dapat menyalurkan
kegemaran-kegemaranku, seperti musik. Dan lebih ke hati dan fikiran kita yang
akan dipengaruhi oleh unsur-unsur sastra.
Setelah lulus tes ternyata aku lulus di Sastra Inggris. Ayahku saat
itu kurang senang, tapi ya mau bagaimana lagi. Lalu aku
mencari tempat tinggal, namun sebagian guruku dan kakak tingkatku yang kuliah
di sini menyarankanku masuk ma`had. Aku adalah anak reguler. Awalnya
aku berfikir ma`had hanya untuk mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi ternyata
tidak.
Setelah aku menapakkan kakiku di ma`had, aku teringat akan sesuatu
yang pernah aku alami. Ya aku merasa seperti kembali ke 3 tahun yang lalu. Yang
mana aku menuntut ilmu di Gontor. Sungguh tak terfikir olehku jika hal ini
tejadi. Namun “Aku harus berubah” fikirku kini. Aku berfikir, aku pernah gagal
di Gontor jadi di tempat ini aku harus berjuang selama 1 tahun untuk tidak
menyerah seperti dulu. Aku pun bulatkan tekad. “Aku
pasti bisa kok” kataku.
Di sini aku menemukan orang-orang hebat yang senantiasa memberiku
motivasi dan semangat. Seperti di antaranya Umy Shinta, Mr. Hendra, Mr. Ali dan
banyak lagi orang-orang hebat di tempat ini. Aku pun bersemangat menapaki hari
demi hari di penjara suci ke-2 ku ini. Terkadang apa yang kurasa di sini
membuatku sesak, ketika pikiranku asyik bernostalgi akan kenangan yang aku
alami di Gontor dulu. Saat kita berjuang, tertawa, berduka dan gundah gulana.
“Sekarang aku mulai beranjak dewasa jadi aku harus berusaha dan
berfikir kritis agar semua yang terjadi jauh lebih baik dari sebelumnya” kataku
dalam hati. Semoga saja Allah senantiasa mengiringi dan memudahkan langkah kami
dan kami termasuk di golongan orang-orang yang kau ridhoi, amiin... Begitulah
cerminan kehidupan yang aku alami. Walaupun hidup terasa asam, tapi kebersamaan
bersama teman yang mengisi rasa manis dalam segarnya cerita “Sop Buah
Kehidupan”.
Komentar
Posting Komentar